15/09/2010 23:12
sumber Liputan6.com, Wakatobi: Wakatobi adalah sebuah kabupaten yang merupakan gugusan dari empat pulau di Sulawesi Tenggara. Di antaranya Wangi-wangi, Kadelupa, Tomia, dan Binongko. Wakatobi, daerah yang 95 persen didominasi oleh lautan. Luas lautnya mencapai 18 ribu kilometer persegi. Bukan cuma itu, Wakatobi juga menjadi bagian dari segitiga terumbu karang.
Dari keempat gugusan tersebut, Tomia menjadi pulau terpadat di Wakatobi. Sebagian besar masyarakat Tomia mencari makan sebagai nelayan. Dahulu, kawasan ini menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Buton. Tak pelak, keseharian warganya masih dipengaruhi dengan budaya dan tradisi Buton.
Seperti kisah keluarga Suardin yang berencana menikahkan Rizal, anaknya, dengan seorang kembang desa di Tomia Timur bernama Cima. Berbagai ritual pun digelar. Tradisi tefa-tefa yang merupakan ungkapan kasih sayang, misalnya. Dalam tradisi ini, Cima beserta keluarga menyiapkan bekal bagi Rizal yang hendak melaut menuju huma, tempat mencari ikan di tengah laut.
Bekal yang dibawa Rizal berupa lapa-lapa yang diisi beras ketan dan santan kelapa. Semuanya dibuat dalam jumlah ganjil. Karena masyarakat Tomia percaya jumlah ganjil berarti rezeki yang melimpah. Ini adalah sebuah tanda perayaan adat dan tradisi yang sakral. Ketika bulan menampakkan wajahnya, seluruh keluarga berkumpul melaksanakan mangan sahu, adat untuk melepas sang pria ke laut.
Ditemani sang paman, Rizal melangkah ke luar rumah menuju laut lepas. Seluruh keluarga ikut mengantar, termasuk Cima sang pujaan hati. Rizal harus melangkah pasti. Ia dilarang untuk menoleh kembali ke belakang karena dipercaya bisa membawa sial ketika mengarungi laut.
Inilah tradisi warga Tomia dalam melaut. Huma atau rumah singgah di tengah laut menjadi tambatan hidup nelayan Tomia. Sekitar dua pekan Rizal dan pamannya akan tinggal di huma. Keberadaan huma akan menghemat biaya dan lebih ramah lingkungan karena tidak banyak mencemari laut dengan bahan bakar minyak yang banyak merusak eksosistem laut.
Wakatobi hanyalah sebagian dari laut Nusantara yang menghampar luas dan memberikan kekayaan tak ternilai. Pengawasan laut harus dilakukan walau jumlah kapal terbatas. Patroli laut seperti di wilayah Wakatobi pun mutlak diperlukan. Bukan hanya di atas permukaan. Keanekaragaman hayati di dalam laut juga harus selalu dijaga.
Pengawasan bukan hanya dilakukan di dalam laut. Petugas juga memonitor kegiatan para nelayan. Kali ini keluarga Rizal yang sedang berada di huma disambangi petugas. Kaitannya, tradisi huma penuh nilai kearifan lokal bagi kelestarian alam bawah laut.
Masyarakat Tomia sadar bahwa ikan dan terumbu karang sangat mudah rusak bila ditangkap dengan cara-cara seperti jaring pukat maupun bom dan racun. Begitu pula Rizal. Ia dan sang paman menggunakan bambu sebagai senjata untuk menangkap ikan. Biasanya, bubu diletakkan di batu karang perairan dangkal, tempat ikan bernaung. Dengan peralatan seadanya bubu ditaruh di bawah laut.
Dalam tradisi Tomia, hasil tangkapan pertama dari setiap jenis ikan harus dipersembahkan ke dewa penjaga laut, Wa Ode Maryam. Sesajiannya disebut popanga. Isinya kelapa, beras ketan, telur, serta sirih pinang, dan rokok. Nelayan Tomia percaya, dewa laut menjaga keselamatan dan keberuntungan selama di laut.
Nilai keramat ini menjaga nelayan untuk tidak menggunakan cara tangkap ikan yang merusak. Kearifan lokal masyarakat Tomia telah menjaga keanekaragaman hayati laut. Kearifan yang juga membawa hidup lebih damai, seperti kedamaian Laut Wakatobi.(ASW/ANS)
Dari keempat gugusan tersebut, Tomia menjadi pulau terpadat di Wakatobi. Sebagian besar masyarakat Tomia mencari makan sebagai nelayan. Dahulu, kawasan ini menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Buton. Tak pelak, keseharian warganya masih dipengaruhi dengan budaya dan tradisi Buton.
Seperti kisah keluarga Suardin yang berencana menikahkan Rizal, anaknya, dengan seorang kembang desa di Tomia Timur bernama Cima. Berbagai ritual pun digelar. Tradisi tefa-tefa yang merupakan ungkapan kasih sayang, misalnya. Dalam tradisi ini, Cima beserta keluarga menyiapkan bekal bagi Rizal yang hendak melaut menuju huma, tempat mencari ikan di tengah laut.
Bekal yang dibawa Rizal berupa lapa-lapa yang diisi beras ketan dan santan kelapa. Semuanya dibuat dalam jumlah ganjil. Karena masyarakat Tomia percaya jumlah ganjil berarti rezeki yang melimpah. Ini adalah sebuah tanda perayaan adat dan tradisi yang sakral. Ketika bulan menampakkan wajahnya, seluruh keluarga berkumpul melaksanakan mangan sahu, adat untuk melepas sang pria ke laut.
Ditemani sang paman, Rizal melangkah ke luar rumah menuju laut lepas. Seluruh keluarga ikut mengantar, termasuk Cima sang pujaan hati. Rizal harus melangkah pasti. Ia dilarang untuk menoleh kembali ke belakang karena dipercaya bisa membawa sial ketika mengarungi laut.
Inilah tradisi warga Tomia dalam melaut. Huma atau rumah singgah di tengah laut menjadi tambatan hidup nelayan Tomia. Sekitar dua pekan Rizal dan pamannya akan tinggal di huma. Keberadaan huma akan menghemat biaya dan lebih ramah lingkungan karena tidak banyak mencemari laut dengan bahan bakar minyak yang banyak merusak eksosistem laut.
Wakatobi hanyalah sebagian dari laut Nusantara yang menghampar luas dan memberikan kekayaan tak ternilai. Pengawasan laut harus dilakukan walau jumlah kapal terbatas. Patroli laut seperti di wilayah Wakatobi pun mutlak diperlukan. Bukan hanya di atas permukaan. Keanekaragaman hayati di dalam laut juga harus selalu dijaga.
Pengawasan bukan hanya dilakukan di dalam laut. Petugas juga memonitor kegiatan para nelayan. Kali ini keluarga Rizal yang sedang berada di huma disambangi petugas. Kaitannya, tradisi huma penuh nilai kearifan lokal bagi kelestarian alam bawah laut.
Masyarakat Tomia sadar bahwa ikan dan terumbu karang sangat mudah rusak bila ditangkap dengan cara-cara seperti jaring pukat maupun bom dan racun. Begitu pula Rizal. Ia dan sang paman menggunakan bambu sebagai senjata untuk menangkap ikan. Biasanya, bubu diletakkan di batu karang perairan dangkal, tempat ikan bernaung. Dengan peralatan seadanya bubu ditaruh di bawah laut.
Dalam tradisi Tomia, hasil tangkapan pertama dari setiap jenis ikan harus dipersembahkan ke dewa penjaga laut, Wa Ode Maryam. Sesajiannya disebut popanga. Isinya kelapa, beras ketan, telur, serta sirih pinang, dan rokok. Nelayan Tomia percaya, dewa laut menjaga keselamatan dan keberuntungan selama di laut.
Nilai keramat ini menjaga nelayan untuk tidak menggunakan cara tangkap ikan yang merusak. Kearifan lokal masyarakat Tomia telah menjaga keanekaragaman hayati laut. Kearifan yang juga membawa hidup lebih damai, seperti kedamaian Laut Wakatobi.(ASW/ANS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar