Rabu, 18 Mei 2011

Kemiskinan di Wakatobi?

Mendengar kata itu dalam relung batin tiap orang terbersit semacam penolakan. Kemiskinan tak hanya meminggirkan seseorang dalam arena pergulatan sosial karena miskin adalah hambatan eksistensial dalam pandangan modernitas. Bayangkan bagaimana susahnya orang miskin menyalurkan pandangannya di tengah pandangan elit yang mayor. Bayangkan pula nihilnya mereka mengimpikan masa depan layaknya orang mampu.
Wajar bila Tuan mengatakan "tak ada orang miskin di Wakatobi". Miskin bagi kita tak hanya berkaitan semata dengan kondisi materi, tapi melampui itu, miskin adalah sebuah aib. Masih segar dimemori saya saat masih menginjak sekolah dasar, ramainya para orangtua memarahi anak-anaknya yang mendapat bantuan tak mampu dari pemerintah meski dalam kacamata Bank Dunia serta tetek bengeknya mereka masuk dalam ukuran miskin. Sehingga 'miskin' bukan alegori nilai dalam pandangan hidup kita. Beda halnya dengan miskin di kota-kota besar yang terus direproduksi dalam bentuknya yang kadangkala vulgar: memanipulasi identitas dari yang berada menjadi tidak berada. Tujuannya mendapat bantuan yang tampil dalam aneka rupa. Bahkan dilakukan secara massal dengan bantuan tangan-tangan terampil yang kerap mengklaim diri sebagai pejuang sosial. Ironi.

Mungkin pula kita hidup dalam ketersediaan alam yang belum terprivatisasi menyeleluruh oleh para kaum kapital. Lalu orang pun tak sesibuk seperti masyarakat urban yang tiap detik dihantui rupa konsumsi. Besok makan apa? Sementara kita cukup mencari lauk dengan 'modal hampa'.

**********
Memang rasanya agak ganjil, karena konsepsi otonomi daerah saat ini mewujud dalam mega-korpus, gagalnya daerah menyejahterakan rakyatnya. Sehingga, kemiskinan kadangkala tampil dalam bentuknya yang ambivalen. Kemiskinan seringkali dieksploitasi menjadi isu yang bisa menggoyahkan bahkan meruntuhkan mereka yang berkuasa. Bagi incumbent sudah barang tentu akan menutup rapat-rapat soal ini.

Wakatobi pun ingin mengambil jarak dalam wacana gagalnya otonomi daerah memakmurkan rakyatnya. bukankan ini keuntungan politik yang tak ternilai bagi mereka yang berkuasa. meski konsepsi kemiskinan perlu perdebatan panjang dan riset yang mendalam, sehingga menjadi counter pandangan dari mereka yang memiliki kuasa. belum lagi kontrol media dan masyarakat sipil masih kurang memadai terhadap jalannya pemerintahan. tak hanya itu pula kita pun harus akui kadangkala kita tenggelam dalam pikuk wacana yang saat ini menjadi tren global; pariwisata. Sehingga abai dengan realitas masyarakat. masyarakat kita pun seringkali latah: penguasa hanya dengan entengnya memarkir para artis-artis kenamaan di Wakatobi sudah cukup untuk menghibur masayarakat kita yang pada kenyataannya senang hiburan. walaupun itu agenda seting penguasa untuk mengontrol wacana pemikiran masyarakat. "tak usah rakyat mikirin politik, cukup urus perut dan hiburan", menyitir kata-kata para elit politik pusat.

lalu mahasiswa kemana? konon katanya mereka sebagai agen perubahan yang bisa mencerahkan masyakarat? tak tahu. kita pun sepertinya hanya teronggok dalam wacana individual yang kerap melumat 'literatur-literatur wah' minus implementasi. mirisnya lagi tenggelam dalam hedonisme yang menawarkan aneka sensasi kenikmatan yang tiada tara!

Oleh Sugianto tomia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar