Kemajemukan budaya dan masyarakat Indonesia terkadang luput dari perhatian. Ada hal-hal yang semestinya diperhatikan justru terabaikan. Salah satu di antaranya adalah kehidupan masyarakat suku Bajo di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Kearifan lokal dan potret hidup masyarakat Bajo itu, diangkat ke layar lebar dengan judul Mirror Never Lies. Film tersebut dibesut Kamila Andini, putri sutradara kenamaan Garin Nugroho.
Film keluarga tersebut tidak hanya menampilkan kehidupan sehari-hari penduduk suku Bajo, tetapi juga keindahan bawah laut Wakatobi. Film itu sendiri diproduseri oleh WWF Indonesia, SET Film, dan juga didukung pemda setempat.
The Mirror juga bertabur bintang yang tengah bersinar. Mereka adalah Atiqah Hasiholan dan Reza Rahadian, serta tiga anak penduduk setempat, yakni Gita Novelista, Eko, dan Zainal.
Atiqah berperan sebagai seorang ibu asli Bajo bernama Tayung, yang memiliki seorang anak perempuan bernama Pakis (Gita Novelista). Keluarga kecil itu mendapatkan cobaan, karena orang yang menjadi kepala keluarga tidak kunjung pulang dari melaut dalam waktu yang lama. Tidak ada kabar berita.
Kalaupun suami Tayung itu sudah meninggal, tidak pernah ditemukan jasadnya. Bangkai sampan pun tidak ada. Kondisi tersebut bukan sesuatu yang aneh bagi penduduk suku Bajo yang "tinggal" di atas laut.
Mata pencaharian penduduk Bajo memang sebagai nelayan tradisional. Mereka mencari ikan di laut dengan peralatan sederhana. Sementara laut terkadang bisa berubah menjadi ganas. Tayung pun bisa memahami kondisi tersebut. Dia berusaha realistis kalau-kalau suaminya tidak akan pernah pulang lagi. Mungkin suaminya sudah diterjang ombak dan meninggal.
Tetapi sebaliknya, Pakis, anaknya, belum bisa serealistis sang ibunda. Pakis tetap meyakini bahwa ayahnya "hanya" hilang. Berarti, masih ada kemungkinan ayahnya masih hidup.
Salah satu peninggalan ayahnya itu adalah cermin. Cermin itulah yang kemudian menjadi seperti barang keramat bagi Pakis. Cermin itu pula yang selalu dia bawa ke dukun kampung. Sebab, kebiasaan orang Bajo, jika ada anggota keluarga hilang, salah satu media yang digunakan untuk mencari tahu adalah cermin.
Di situlah terjadi pertentangan batin antara Tayung dan anaknya. Di satu sisi Tayung menginginkan Pakis merelakan bapaknya, di sisi lain Tayung harus bekerja sendiri mencari hasil laut demi menafkahi keluarganya.
Dalam film ini, digambarkan bagaimana Tayung dan Pakis - layaknya masyarakat penduduk Bajo - tampak begitu akrab dengan laut. Scene-scene underwater disajikan secara natural. Misalnya, saat Tayung menyelam mencari bulu babi untuk dijual di pasar, atau ketika Pakis yang memiliki kebiasaan mengapung di permukaan laut untuk menenangkan diri.
Menurut sutradara Kamila Andini, pembuatan film yang sudah menyabet penghargaan internasional dari The Global Film Initiative, San Fransisco, AS, itu memakan waktu lama, yakni tiga tahun. "Proses panjangnya lebih ke riset. Dokumentasi suku Bajo itu sulit ditemukan. Kami harus beberapa kali datang ke sana langsung," katanya.
"Buku tentang Bajo juga hanya ada beberapa. Sudah begitu, karena syutingnya dilakukan di sana, kami harus berkompromi dengan kondisi alam. Syuting sempat mundur setahun. Pas syuting pun, terkadang cuacanya tidak memungkinkan, sehingga harus ditunda dulu," tambah Kamila.
"Pernah waktu mau syuting, ada angin puting beliung. Kebetulan saya ambil gambarnya, dan saya masukkan ke salah satu adegan di film ini. Jadi, itu bener-bener puting beliung betulan," tutur sutradara muda itu pula.
Film The Mirror Never Lies ini akan dirilis di bioskop pada 5 Mei mendatang. Menurut pihak WWF Indonesia, film tersebut telah dipesan oleh beberapa negara, seperti Australia, India, Hongkong, juga Malaysia. Jadi, setelah di Indonesia, The Mirror Never Lies pun akan diputar di negara-negara tersebut. (jan/c4/ib)