Rabu, 18 Mei 2011

Film The Mirror Never Lies karya Putri Garin Nugroho Cermin Kehidupan Suku Bajo di Wakatobi




Kemajemukan budaya dan masyarakat Indonesia terkadang luput dari perhatian. Ada hal-hal yang semestinya diperhatikan justru terabaikan. Salah satu di antaranya adalah kehidupan masyarakat suku Bajo di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Kearifan lokal dan potret hidup masyarakat Bajo itu, diangkat ke layar lebar dengan judul Mirror Never Lies. Film tersebut dibesut Kamila Andini, putri sutradara kenamaan Garin Nugroho.

Film keluarga tersebut tidak hanya menampilkan kehidupan sehari-hari penduduk suku Bajo, tetapi juga keindahan bawah laut Wakatobi. Film itu sendiri diproduseri oleh WWF Indonesia, SET Film, dan juga didukung pemda setempat.

The Mirror juga bertabur bintang yang tengah bersinar. Mereka adalah Atiqah Hasiholan dan Reza Rahadian, serta tiga anak penduduk setempat, yakni Gita Novelista, Eko, dan Zainal.

Atiqah berperan sebagai seorang ibu asli Bajo bernama Tayung, yang memiliki seorang anak perempuan bernama Pakis (Gita Novelista). Keluarga kecil itu mendapatkan cobaan, karena orang yang menjadi kepala keluarga tidak kunjung pulang dari melaut dalam waktu yang lama. Tidak ada kabar berita.

Kalaupun suami Tayung itu sudah meninggal, tidak pernah ditemukan jasadnya. Bangkai sampan pun tidak ada. Kondisi tersebut bukan sesuatu yang aneh bagi penduduk suku Bajo yang "tinggal" di atas laut.

Mata pencaharian penduduk Bajo memang sebagai nelayan tradisional. Mereka mencari ikan di laut dengan peralatan sederhana. Sementara laut terkadang bisa berubah menjadi ganas. Tayung pun bisa memahami kondisi tersebut. Dia berusaha realistis kalau-kalau suaminya tidak akan pernah pulang lagi. Mungkin suaminya sudah diterjang ombak dan meninggal.

Tetapi sebaliknya, Pakis, anaknya, belum bisa serealistis sang ibunda. Pakis tetap meyakini bahwa ayahnya "hanya" hilang. Berarti, masih ada kemungkinan ayahnya masih hidup.

Salah satu peninggalan ayahnya itu adalah cermin. Cermin itulah yang kemudian menjadi seperti barang keramat bagi Pakis. Cermin itu pula yang selalu dia bawa ke dukun kampung. Sebab, kebiasaan orang Bajo, jika ada anggota keluarga hilang, salah satu media yang digunakan untuk mencari tahu adalah cermin.

Di situlah terjadi pertentangan batin antara Tayung dan anaknya. Di satu sisi Tayung menginginkan Pakis merelakan bapaknya, di sisi lain Tayung harus bekerja sendiri mencari hasil laut demi menafkahi keluarganya.

Dalam film ini, digambarkan bagaimana Tayung dan Pakis - layaknya masyarakat penduduk Bajo - tampak begitu akrab dengan laut. Scene-scene underwater disajikan secara natural. Misalnya, saat Tayung menyelam mencari bulu babi untuk dijual di pasar, atau ketika Pakis yang memiliki kebiasaan mengapung di permukaan laut untuk menenangkan diri.

Menurut sutradara Kamila Andini, pembuatan film yang sudah menyabet penghargaan internasional dari The Global Film Initiative, San Fransisco, AS, itu memakan waktu lama, yakni tiga tahun. "Proses panjangnya lebih ke riset. Dokumentasi suku Bajo itu sulit ditemukan. Kami harus beberapa kali datang ke sana langsung," katanya.

"Buku tentang Bajo juga hanya ada beberapa. Sudah begitu, karena syutingnya dilakukan di sana, kami harus berkompromi dengan kondisi alam. Syuting sempat mundur setahun. Pas syuting pun, terkadang cuacanya tidak memungkinkan, sehingga harus ditunda dulu," tambah Kamila.

"Pernah waktu mau syuting, ada angin puting beliung. Kebetulan saya ambil gambarnya, dan saya masukkan ke salah satu adegan di film ini. Jadi, itu bener-bener puting beliung betulan," tutur sutradara muda itu pula.

Film The Mirror Never Lies ini akan dirilis di bioskop pada 5 Mei mendatang. Menurut pihak WWF Indonesia, film tersebut telah dipesan oleh beberapa negara, seperti Australia, India, Hongkong, juga Malaysia. Jadi, setelah di Indonesia, The Mirror Never Lies pun akan diputar di negara-negara tersebut. (jan/c4/ib)
Sumber: E-TAINMENT - FILM

Kemiskinan Sebuah Konsep atau Realitas

Oleh: Sumiman Udu 
\Ada yang ambigu dalam pemikiran masyarakat Wakatobi hari ini, makna kata 'kemiskinan' menjadi kabur. Batasan kemiskinan menjadi tidak ada. Dalam majalah "Biografi Politik for Democracy and Change" dikemukakan bahwa tidak ada kemiskinan di Wakatobi menjadi suatu yang mengguncang pemikiran dan pemahaman anak-anak Wakatobi tentang kemiskinan.

Dalam acara bedah buku 'empat' buku Hugua 'Miskin Kaya adalah pilihan, Surgaisme Landasan tata dunia baru, dan Bigrafi politik, serta lelaki itu Hugua di Lantai 4 Raktorat awal Januari 2011, telah melahirkan dampak besar dalam pemikiran atau kesadaran khususnya kesadaran masyarakat Wakatobi. Salah satu tulisan yang paling mengguncang pemikiran itu adalah Sub Judul yang Tidak ada kemiskinan di Wakatobi (hal,128). Berbagai kalangan membahas masalah ini, ahli ekonomi, budaya, sejarah dan para politikus mendiskusikan ini.

Tetapi ketika kata 'kemiskinan' itu tidak mendapatkan batasan yang jelas, maka kata itu tidak akan dapat dipahami secara tepat. Karena pemahaman seseorang tentang kemiskinan itu dapat dipahami jika dapat diukur melalui empat hal yaitu, makna kata, makna simbol, realitas empiris, dan ekspresi masyarakat setelah mendengarkan kata, simbol dan realitas empiris tersebut.

Oleh karena itu, 'kemiskinan' harus diberikan batasan yang jelas sebagai kerangka pikir agar tidak meressahkan masyarakat. Dari adanya batasan yang jelas tentang konsep kemiskinan, akan memberikan ruang interprestasi yang tepat terhadap makna kata itu, tetapi jika batasan itu tidak ada, maka kesadaran atau subjeltifitas akan muncul di setiap kepala orang-orang yang mendengarkan batasan itu. dan secara akademis, inilah ruang untuk membangun kesadaran epistemologi.

kedua, 'kemiskinan' itu adalah dapat dimaknai sebagai simbol terhadap kesuksesan suatu masyarakat dalam mensejahterakan masyarakatnya. Jika judul, "Tidak ada Kemiskinan di Wakatobi" dianggap sebagai sebuah bahasa simbolik atas kesuksesan kerja pemerintah di Wakatobi, maka 'kata kemiskinan dapat dimaknai sebagai suatu simbol yang sangat berpengaruh dalam pemikiran anak-anak Wakatobi. Karena kalimat itu, merupakan kalimat yang dapat dimaknai sebagai ruang untuk tidak melihat realitas sesungguhnya yang dialami oleh masyarakat Wakatobi hari ini.

Apa benar, orang-orang Wakatobi sudah tidak ada yang miskin? Pertanyaan ini, sangat penting untuk melihat realitas empiris yang ada di dalam masyarakat. Katakan saja, bahwa kalau semua anak-anak masyarakat Wakatobi sudah dapat melanjutkan pendidikan, sudah dapat berobat dengan layak, sudah dapat makan dengan kebutuhan dasar gizi? Sudah menggunakan lampu penerangan dengan menggunakan listrik? Sudah dapat minum air yang sehat?

Saya kira, realitas empiris tentang kemiskinan di Wakatobi yang akan menjawab pertanyaan dan pernyataan bahwa "Tidak ada kemiskinan di Wakatobi". Berdasarkan pemantauan kami, masyarakat desa Longa ingin mendapatkan pelayanan lampu listrik, tetapi mereka tidak mampu membayar uang muka yang lima juta rupiah / meteran. Tentu keinginan yang tidak kesampaian ini, adalah pilihan atau kebahagiaan? jawabannya adalah nanti pada masyarakat.

Melihat realitas, empirs tentant 'kemiskinan' ini, serta respon masyarakat tentang itu, membuat kita dapat memahami 'kemiskinan' itu secara nyata. Bahwa kemiskinan itu hanya sebatas konsep atau realitas, paling tidak harus dapat dipahami dalam tataran berpikir yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan.

Di sini, masayarakat Wakatobi, harus mampu memahami kata 'kemiskinan' tersebut, dalam kesadaran yang mampu dipertanggungjawabkan secara akademis maupun secara sosial.

Pentingnya tula-tula atau potapaki dalam Pembangunan Wakatobi

Ada yang kita tidak pahami dalam pembangunan yang melibatkan manusia. Bahwa kita banyak mengabaikan kata-kata, atau tula-tula. Pada hal di ranah inilah kesadaran dapat dibangun. Ada dua hal, pergerakan yang dilakukan tanpa memantapkan kesadaran, sama dengan pekerjaan orang gila. Mereka akan melakukan suatu gerakan tanpa mengetahui subtansi dari suatu gerakan tersebut.

Dalam sejarah, banyak tokoh-tokoh yang sukses dalam pergerakan adalah dimulai dari kebangkitan pemikiran (kesadaran) dan itu tidak mungkin dalam tindakan, tetapi melalui proses pencerahan pemikiran, dan itu berlangsung cukup lama. Hampir setengah dari perjuangan fisik, harus dimulai dari perjuangan untuk memberikan kesadaran. Dengan demikian, perjungan membangun Wakatobi harus dimulai melalui tula-tula, agar orang dapat memahami apa yang akan kita lakukan, kemana tujuan kita, karena masyarakat tidak akan memahami apa yang ingin kita lakukan tanpa memahami kata-kata yang kita ucapkan.

Di samping itu, kegagalan orang-orang dalam perjuangan, adalah ketidakmampun mereka meyakinkan orang untuk bekerja sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. dan lebih menyedihkan lagi adalah mereka menyerah dan menyalahkan orang lain, termasuk pemerintah, bahwa mereka tidak diberdayakan.

Selanjutnya, kemiskinan, politik uang, intimidasi, dan segala penyelewengan dalam berbagai pemilu kada, disebabkan karena kurangnya kesadaran dalam berbangsa dan bernegara. Atau mungkinkan bangsa ini telah krisis pemikiran (kesadaran) dan generasi kita seakan alergi dengan apa yang disebut dengan dialog yang multi arah. Untuk itu, ke depan, Wakatobi membutuhkan investasi pengembangan SDM, sehingga terbangun kesadaran bersama bahwa Wakatobi adalah daerah kita yang harus dibangun dalam ranah kebersamaan, bukan dalam ranah kecongkakan melalui upaya untuk selalu menyalahkan orang lain. Hanya benar sendiri, menjastifikasi terhadap sikap sendiri, dan akhirnya menang sendiri.

Andai saja kita semua sama-sama jujur dalam melihat Wakatobi, kampung halaman kita, maka kita harus memulai dialog dengan pemerintah, sekarang dan hasil pilkada ke depan. Sebab tanpa dialog, maka akan terjadi proses pembodohan dan saling mencurigai antara pemerintah, masyarakat, LSM dan teman-teman yang lainnya. Saling klaim, bahwa ini yang benar, itu yang benar untuk Wakatobi, dan dengan dialog atau potapaki, kita dapat menemukan solusi alternatif dalam pemecahan masalah.

Dalam kebudayaan Buton mereka mengenal empat pintu tanah Buton dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam pembangunan Buton di masa lalu. yang pertama adalah GAU, yaitu proses semua masyarakt yang masuk dalam masalah tersebut, berhak untuk mengemukakan pendapatnya, sehingga seluruh informasi dan kepentingan orang dibuka di tengah rapat. Kedua, POMBALA, yaitu proses penyeleksian informasi yang mana yang penting dan utama dalam penyelesaian masalah, ketiga, Musyawarah yaitu proses mempertimbangkan pemecahaman masalahah dengan mempertimbangkan kepentingan umum dan bangsa, serta yang terakhir adalah MUFAKAT, dimana semua orang yang hadir sudah mendapatkan kesepakatan dalam suatu musyawarah. Sehingga mnereka memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan hasil keputusan tersebut.

Untuk Itu, pambangunan Wakatobi harus dimulai dari dialog yang terus menerus yang pada akhirnya ketika action di lapangan, semuanya dapat menyadari apa yang dilakukan tersebut, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara bersama-sama.

Tentunya Wakatobi, membutuhkan dialog yang terus menerus, walau ini memang yang lemah, karena kita hanya menggunakan pikiran kita, sebab menurut Rasul, jika ada kejahatan, maka kita harus mengubahnya dengan kekuasaan kita, pikiran kita, dan terakhir adalah melaui doa.

Mari kita bangun Wakatobi dengan memulainya dengan pembangunan konsep, mau dibawa kemana itu Wakatobi, kita dengarkan rakyat kita, dan kita yakinkan bahwa kita dapat maju bersama.

Oleh: Sumiman Udu

Kemiskinan di Wakatobi?

Mendengar kata itu dalam relung batin tiap orang terbersit semacam penolakan. Kemiskinan tak hanya meminggirkan seseorang dalam arena pergulatan sosial karena miskin adalah hambatan eksistensial dalam pandangan modernitas. Bayangkan bagaimana susahnya orang miskin menyalurkan pandangannya di tengah pandangan elit yang mayor. Bayangkan pula nihilnya mereka mengimpikan masa depan layaknya orang mampu.
Wajar bila Tuan mengatakan "tak ada orang miskin di Wakatobi". Miskin bagi kita tak hanya berkaitan semata dengan kondisi materi, tapi melampui itu, miskin adalah sebuah aib. Masih segar dimemori saya saat masih menginjak sekolah dasar, ramainya para orangtua memarahi anak-anaknya yang mendapat bantuan tak mampu dari pemerintah meski dalam kacamata Bank Dunia serta tetek bengeknya mereka masuk dalam ukuran miskin. Sehingga 'miskin' bukan alegori nilai dalam pandangan hidup kita. Beda halnya dengan miskin di kota-kota besar yang terus direproduksi dalam bentuknya yang kadangkala vulgar: memanipulasi identitas dari yang berada menjadi tidak berada. Tujuannya mendapat bantuan yang tampil dalam aneka rupa. Bahkan dilakukan secara massal dengan bantuan tangan-tangan terampil yang kerap mengklaim diri sebagai pejuang sosial. Ironi.

Mungkin pula kita hidup dalam ketersediaan alam yang belum terprivatisasi menyeleluruh oleh para kaum kapital. Lalu orang pun tak sesibuk seperti masyarakat urban yang tiap detik dihantui rupa konsumsi. Besok makan apa? Sementara kita cukup mencari lauk dengan 'modal hampa'.

**********
Memang rasanya agak ganjil, karena konsepsi otonomi daerah saat ini mewujud dalam mega-korpus, gagalnya daerah menyejahterakan rakyatnya. Sehingga, kemiskinan kadangkala tampil dalam bentuknya yang ambivalen. Kemiskinan seringkali dieksploitasi menjadi isu yang bisa menggoyahkan bahkan meruntuhkan mereka yang berkuasa. Bagi incumbent sudah barang tentu akan menutup rapat-rapat soal ini.

Wakatobi pun ingin mengambil jarak dalam wacana gagalnya otonomi daerah memakmurkan rakyatnya. bukankan ini keuntungan politik yang tak ternilai bagi mereka yang berkuasa. meski konsepsi kemiskinan perlu perdebatan panjang dan riset yang mendalam, sehingga menjadi counter pandangan dari mereka yang memiliki kuasa. belum lagi kontrol media dan masyarakat sipil masih kurang memadai terhadap jalannya pemerintahan. tak hanya itu pula kita pun harus akui kadangkala kita tenggelam dalam pikuk wacana yang saat ini menjadi tren global; pariwisata. Sehingga abai dengan realitas masyarakat. masyarakat kita pun seringkali latah: penguasa hanya dengan entengnya memarkir para artis-artis kenamaan di Wakatobi sudah cukup untuk menghibur masayarakat kita yang pada kenyataannya senang hiburan. walaupun itu agenda seting penguasa untuk mengontrol wacana pemikiran masyarakat. "tak usah rakyat mikirin politik, cukup urus perut dan hiburan", menyitir kata-kata para elit politik pusat.

lalu mahasiswa kemana? konon katanya mereka sebagai agen perubahan yang bisa mencerahkan masyakarat? tak tahu. kita pun sepertinya hanya teronggok dalam wacana individual yang kerap melumat 'literatur-literatur wah' minus implementasi. mirisnya lagi tenggelam dalam hedonisme yang menawarkan aneka sensasi kenikmatan yang tiada tara!

Oleh Sugianto tomia